(Puisi) sajak seorang tua untuk istrinya - Oleh WS. Rendra
Puisi sajak seorang tua untuk istrinya adalah puisi WS Rendra yang romantis, yang diketahui WS Rendra merupakan seorang yang ciri khasnya sebagai sastrawan yang lekat dengan kritik politik dan budaya.
Namun dalam sajak seorang tua untuk istrinya, amanat puisi tersebut adalah menunggu ajal, namun ditulis dengan dalam kata kata yang lembut sehingga sajak orang tua untuk istrinya terkandung sentuhan yang romantis.
Bagaimana kata kata puisi untuk sajak seorang tua untuk istrinya karya WS Rendra yang dipublikasikan berkas puisi.
Untuk lebih jelasnya isi puisi sajak seorang tua untuk istrinya disimak saja berikut ini.
SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYAKarya: WS. Rendra
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
Sajak-sajak sepatu tua, 1972
Demikianlah sajak seorang tua untuk istrinya amanat puisi tersebut adalah sepasang suami istri yang sudah kakek nenek dideskripsikan tinggal menunggu ajal.