(Puisi) Kepada Perempuan yang Kuseru Emak [ibu]
Berikut ini adalah puisi untuk ibu atau puisi buat ibu dengan judul puisi kepada perempuan yang kusebut emak.
Bagaimana cerita puisi untuk ibu dalam bait puisi untuk perempuan yang kusebut emak, untuk lebih jelasnya puisi tentang ibu atau emak disimak saja puisinya dibawah ini.
Kepada Perempuan yang Kuseru Emak Oleh: Gaksa Asean
I
Kalau aku pulang lalu bilang padamu,
rumah akan jadi hening;
kerling dan kening tiba-tiba geming,
sementara malam bersamamu,
belum kuakrabi.
Bantu aku, Mak! Bantu aku
mengambil sorban hijau di lemari Abah
untuk kutangkupkan di pasi wajahku.
Sebelum kurapal mantra,
memesan pelukan kepada...
... angin sakal serakah
yang merampas suara-suara
adalah duka tak terduga, Mak!
II
Aku tahu,
kau sedang menggamit damar dan doa.
Aku tahu, kau menantiku pada sebuah pintu.
Tetapi, kita terlalu lama kehilangan kata-kata.
Jarak yang durjana membuatku
terlontar sebegini jauh.
Mak, keakuanku ini
adalah kuku-kuku iblis, merobek-robek kulit ari,
daging, dan, merangsek ke belulangku.
Ngilu, Mak. Ngilu!
Tetapi katamu,
lelaki yang lahir di tanah Banten
dilarang menangis.
Maka, dalam sendiri dan kepung gigil aku
menyenandungkan shalawat
yang tak khatam kaubacakan di dekat telingaku.
Shalawat yang menikam-tikam jantungku
bila malam saru dan dunia hilang deru.
III
Kutatap genting hitam berbaris,
kamar di kota asing ini mengingatkanku
pada kamar waktu aku kecil, tanpa plafon.
Begitu banyak sarang yang ditinggal
laba-laba. Ada kecoa terperangkap
dilumat rayap dan semua lenyap
sesaat setelah aku terlelap.
Mak, ada senyap tiba-tiba menderap
dan sesuatu memerangkap.
Tubuhku semakin meringkuk ditekuk ketakutan.
Lampu lima watt seperti mata setan
mengabarkan petaka pada musim durna.
Maut dan sebuah rahasia
yang belum sempat kukatakan padamu
menjulurkan lidah.
IV
Dalam lelah dan leleh jiwaku masih tahan,
sebagai orang sakit yang menyaksikan dunia
dibias secerca cahaya dari tungkai jendela
di mana kita dahulu bertatapan
dan bertukar cerita.
Jasadku terasa ringan, Mak.
Kupandangi langit-langit, lalu kubiarkan
sesuatu berbinar sebelum ia melepaskan diri
dari kungkungnya.
Mak, bukankah engkau pernah berkata
seorang lelaki lahir sebagai ksatria:
menghadapi luka dan derita sebuah dunia.
Lantas, untuk apa air mata itu
terus mengalir, Mak?
Untuk apa?
Cilegon, 2013