Puisi Prosa Cinta [aku dan waktu]
Berikut ini adalah puisi prosa cinta yang berisi puisi cinta dan puisi aku dan waktu. bagaimana cerita puisi tentang cinta dalam bait puisi prosa yang dipublikasikan blog berkas puisi.
Untuk lebih jelasnya cerita puisi dalam bentuk puisi prosa, disimak saja dibawah ini dua puisi prosa cinta.
Aku dan WaktuKarya: Chendanabiru
Aku berkhayal, menemukanmu di tubuh angin dan kulelapkan sebentar rindu di sana, sebelum mimpi memberiku sayap, menggapai bahumu yang tersadai di langit senyap.
Mencintaimu dalam diam, tanpa riuh dan keramaian, aku mengambil waktu, menyulam ribuan rindu dan kenangan, meski hanya beberapa malam kita sempat menganyam kehidupan di sebuah kota pertemuan.
Meski februari tidak selalu hujan, aku melihat jatuhan embun sebagai gerimis yang pulang, jatuh di birai jendela, sesekali bercinta dengan cermin kaca yang selalu lupa kubuka.
Di dalam hati, sudah terlalu dalam, kutanamkan kasih dan sayang, menyemai benih-benih harapan, hingga mataku yang tidur selalu mengimpikan dunia tanpa waktu, di sana kita lebih lama memeluk rindu dan bercumbu hingga langit dan matahari menjadi kekasih yang tidak menemukan senja dan malam di dalam sebuah pelukan.
Dunia itu, sudah kutahu, hanya sebuah puisi yang tak pernah Tuhan beri. Namun cinta selalu bisa membina dunia, menyatukan semula runtuhan tembok-tembok kota, mengembalikan hati kita pada satu rasa, melangkah sempadan mimpi dan terjaga di sebuah negeri.
Suatu waktu itu, ketika angin memetik bunga-bunga rindu di bangku, aku terlebih dulu memelukmu meski tanpa tubuh, berharap luka bisa sembuh, seperti langit semalam, tekun menjahit bulan hingga subuh.
08022020, Kuala Lumpur
Puisi CintaKarya: Chendanabiru
Baru kunikmati, sepiring malam dan mencicipi beberapa keping kenangan, bercangkir-cangkir rindu tak terkalahkan, memabukkan, hingga aku jatuh dalam pelukanmu yang bayang.
Terkapar, aku meraba-raba halaman dadamu, sekerat puisi aku jamah, terasa sangat sunyi, tidak ramah, huruf-huruf tenggelam dalam eja yang kulupa baca, tentu bukan namamu hanya seluka yang mengacah rasa.
Diam, kuraba sebuah arti romantis di belahan kiri dadamu yang ada aku. Dingin seperti angin sombong yang tak sudi menyapa daun dan ranting, padahal semalam pernah bercinta di pucuk bulan bermusim tanpa pulang.
Entahlah, dadamu seperti langit yang tak habis aku panjat, tak sudah memberi kalimat, betapa panjangnya kisah-kisah yang tercatat menjadi hujan yang sesat di lereng bukit, betapa pendeknya kenangan yang selalu dekat menyebut namamu, bukan semata perihal rindu, lebih dari candu.
Kugeserkan kembali, rebah di kanan dadamu. Ada yang kubaca sebagai ujudmu, laki-laki imaji yang selalu bersenggama dengan puisi, sembunyikan hati yang carik dan sebentuk cinta yang belum kau tulis di dalam larik.
"Aku yang belum milik."
07022020, Kuala Lumpur