Puisi [ibu] Perempuan Berkalung Kesetiaan
Puisi perempuan berkalung kesetiaan adalah puisi ibu dengan tema cahaya ibu yang dipublikasikan untuk kali ini.
Bagaimana cerita puisi kesetiaan dan kata kata untuk kesetiaan seorang ibu dalam bait puisi tentang ibu yang dipublikasikan blog berkas puisi.
Untuk lebih jelasnya kata kata puisi ibu disimak saja berikut ini puisi tentang ibu berjudul perempuan berkalung kesetiaan.
PEREMPUAN BERKALUNG KESETIAANKarya : Rossalita Jilly Fitrah Lakhsmi Enzilian
Kultur keindahan dalam parafrasa nirmala, yang melembahkan bara keakuan
menjadi kuntum, menguarkan keharuman menyegarkan.
Rengkuh kasihmu kuasarkan unggun
Bak semelpar kuala cermin yang ikhlas mengorbankan diri bertaruh nyawa walau akhirnya musnah tereleminasi
oleh kerasnya evolusi
Ibu engkaulah wanita yang mengalunkan
kasih dalam nadi hidupku ini
"Falaa taqul lahuma uffin"All ayah, " Firman Allah SWT: bicara haluslah, bicara kasar kepada orang tua saja nggak boleh (berdosa) apalagi memarahinya."
Aku menggigil kelu Ibu, begitu sering amarah kulautkan kala letih menerpa kita.
Sesaat aku kembali berjibaku, memandangimu dari ujung strimin dinding kamar.
Engkau menengadah kosong ke langit
awal Desember yang basah
Sedemikian muram tanpa kerling bintang
Di sela batuk dan tangismu, Ibu
Aku bahagia memiliki peluang emas
mejadi bagian kisah dalam hidupmu
Sebab dari sekian banyak waktu,
yang membekukan pentagon kasih murnimu
Akhirnya aku dapat menyampaikan isi hatiku
Tak perlu puitis, sebab bagiku kau adalah
ladang kata indah
Perempuan bergaun duri, yang di lehermu melekat kalung kesetiaan, bidadari paling tegar penanak luka di kuartal sejarah Asmara, maha nostalgia yang memulangkan rindu antara bening pun ceruk kisah dan kisikisi indah.
Ibu
Asmaramu teduh menelaga
mencipta microfita cinta tanpa memihak sesiapa, engkau tak membedakan anak kandung ataupun putra dari garis darah
yang berbeda
Arum ringkih melati yang kuuntai sebagai penghias sanggul menjadikanmu sebagai putik abadi yang tak tersentuh, laik peony mahkota bermegaran begitu anggun tapi tak terpinang rasa, selepas kepergian Ayah yang silam dalam kecelakaan tragis. Legiun penuh darah itu memasung setiamu
Begitu berat ketika kau harus menapak, membesarkan anak-anakmu yang masih balita dalam badai coba, tantangan godaan ataupun hujan dera. Dalam dera hujan caci maki dan hujatan yang membuatmu berulang kali terseret pedih ranjau-ranjau lumpur kepedihan
Ibu, sebisa mungkin aku ingin biaskan pelangi di jernih socamu yang meriuhkan amsal debaran pun desire dalam toreh sejarah waktu.
Ingin kuubah diskriminasi yang tajam
Egoismemu yang terkoyak, hujaman penghinaan selalu datang menerpa
menjadi nirwana.
"Perempuan terbaikku, mutiara pilihan Illahi marilah kita kubur dalam-dalam semua buntalan luka. Kuingin bangun taman hati Kailas tereden yang berlembah jaladri anyelir bermahkotakan tiara cinta kasih."
Mawar peradapan, bagiku kau adalah cygnus terkejora yang menjadi inti cahaya di mata kita.
Aku bukan nada yang menjadi komponen penunjang simphoni, atau diksi yang menjantungi ruh segudang puisi,
karena bagiku Ibu adalah keindahan yang melebihi soneta di orkhestranya jiwa.
Engkaulah persaksian masa, ketika balitamu
tumbuh dewĘŚsa, saat aku menggandeng
tanganmu, memeta kristal resah, meramu jejak-jejak yang riuh di netramu
Kemudian membaca kehidupan yang dihadirkan dari sosok luar biasa sepertimu.
Ngelanut aku, melepas segala kesah
yang menyesakkan dada, teduh rengkuhmu menyeruak imajiku menjadikan Ibu
sebagai jantung prosaku.
Kulibatkan emosi untuk menguntai narasi indah dari alur hidup kita yang sangat sederhana, dalam ironis kenyataan juga paradoksal amunisi yang dicekokkan menjadi kredo sungsang penderitaan, terbata kita beristighfar dalam anugerah
yang tiada terkira.
Ibuku terkasih
Restu Syurga utama, gempita bathinimu akan melembah bukan karena takut di cap durhaka melainkan mencandumu adalah keindahan tersendiri
Duri absurdku begitu masive mencakar siapapun yang melukai perasaanmu
Jangan pernah lagi melambankan angan, biarkan aku terbiasa berlari mengejar mimpi dan ketertinggalanku. Sudah cukupkanlah sanjungan itu untukku, aku tak kuat lagi menahan pujian yang melenakan, hingga aku lengah tenggelam dan membusuk dalam glamournya kefanaan hidup.
Pasung aku dalam protek keimanan,
awasi aku dengan ketajaman intuisi.
Netra terteduh damaikan aku
Bersama tirta darah yang krismakan jasad dan reinkarnasi jiwa sang pengelana kecilmu ini.
Ibu, mungkin aku tak cukup romantis
Tapi bolehkah sore ini semua kutepis
Demi berucap ... Ibunda, aku sangat mencintaimu. ***
Blood Eclipse
Malang, 12 Desember 2019, 16 : 05 WIB