[Puisi Untuk Guru Honor] Menyambut Rembulan Menjelang Kantuk
Puisi untuk guru honor dengan judul puisi menyambut rembulan menjelang kantuk, bagaimana cerita puisi tentang guru honor yang di cerita oleh puisi tema guru honorer.
Untuk lebih jelasnya tentang puisi guru honorer dan cerita puisi yang panjang untuk guru,
Disimak saja berikut ini puisi guru tidak tetap atau puisi untuk guru honor dalam deretan bait puisi seorang guru honorer.
PUISI MENYAMBUT REMBULAN MENJELANG KANTUKOleh: Sudrajat Achadiat Asep
Kepada Guru Honor
Menyambut rembulan menjelang kantuk.
Menatap langit dengan tatapan kosong.
Merasakan basah dari kekeringan zaman. Menyaksikan detik meluncur cepat dari lambatnya jam.
Aku merasakan manisnya raut wajah dari pahitnya hidupmu.
Aku mengecup kening berkeringat para guru honor.
Dapur telah dihujani janji bergaun manis.
Melayang menyaksikan kompor yang apinya tak mau memanas.
Harapan selalu ditembakkan dari busur doa.
Hukum menelikung asa yang disambut riuh dalam mimpi.
Akal sehat yang sering sakit tak berkutik.
Pidato dan kentut sama baunya, janji revisi hukum tak kunjung selesai.
Suatu pagi aku sarapan di warung dekat kumpulnya tukang pidato.
Sunyi bercanda dengan ketidakpastian.
Pepohonan yang menjulang ke langit mencoba memahami.
Aku sampaikan nasib mereka kepadamu, tapi kamu tidak punya telinga.
Sunyi menjadi beku, karena kamu tidak punya hati.
Sejenak aku bertanya kepada angin.
Yang tidak punya hati, yang tidak punya telinga.
Yang menjadi tukang pidato sudah lupa.
Lupa anak-anaknya dibesarkan pemilik kompor yang apinya tak mau panas.
Angin pun menjawab ketidakberdayaan aku.
Setiap kata telah dibabad dengan kepentingan kelompoknya.
Hujan hampa mineral.
Perjuangan tiada ujung.
Sungai pun kian keruh dan berbau.
Gemuruh hujan adalah suara kesunyian.
Yang hadir wajah beku dari panasnya warna-warni dasi.
Kamu memilih revisi regulasi yang melanggengkan kemesraan berkuasa.
Halilintar menjadi mimpi.
Lalu, apakah halilintar dan mimpi itu ?
Yang pasti aku akan selalu hadir dalam mimpi.
Selalu mencoba memeluk api supaya mau panas.
Selalu mencoba halilintar untuk mau menyambar telinga dan hati tukang pidato.
Berpuluh tahun aku berjalan bersama.
Kakiku yang berasam urat aku langkahkan dari mimpi ke mimpi.
Pikiranku luluh lantak di ruangan yang dingin.
Tidak. Aku tetap optimis dan tidak beku.
Api itu tetap menyala walaupun tidak mau panas
Aku tetap cinta.
Karena anak-anakku dan anak-anak tukang pidato.
Tetap dikucuri ilmu oleh mereka.
Tetap dididik untuk tahu diri, sekalipun aku dan tukang pidato tidak tahu diri.
Ketidakpastian menjadi pupuk cinta aku dan kalian.
Karena aku dan kalian sendiri sudah tidak bisa membedakan bahagia dan sedih
Karena sedih dan bahagia adalah saudara sekandung.
Yang kita yakini, bahagia itu hidup berguna untuk orang lain dan sedih itu hidup tak punya hati dan tak punya telinga.
Jakarta, November 2017
Demikianlah tentang Puisi Untuk Guru Honor berjudul puisi Menyambut Rembulan Menjelang Kantuk baca juga puisi kritikan untuk guru atau puisi jeritan honorer yang telah diterbitkan berkaspuisi.com sebelumnya
Semoga Puisi Untuk Guru Honor | puisi Menyambut Rembulan Menjelang Kantuk dapat menghibur dan menginspirasi untuk menulis puisi tentang hari guru yang panjang atau puisi panjang untuk guru tercinta