Guruku Pahlawanku - Oleh Nayya Fii
Matahari tengah tergelincir saat aku melangkahkan kaki menuju sekolah madrasah diniyah selepas pulang sekolah dasar. Seutas senyuman terlempar padaku dari seberang jalan, di sampingku ada beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul membicarakan sesuatu.
"Kok dia mau ya pusing-pusing ngajar sekolah madrasah? Padahal kan dia sarjana pendidikan agama islam yang bisa mendapatkan uang banyak jika mengajar di SMP islam atau pesantren modern," ucap seorang ibu.
"Iya, benar. Setahuku kan kalau mengajar madrasah diniyah gak ada yang bayar, soalnya murid-muridnya jarang banget bayaran. Kalaupun ada, bayarannya tak seberapa," kata ibu yang lain menambahkan.
Aku menggeleng pelan sambil beristigfar dalam hati. Kutatap bangunan sederhana dengan dua ruangan kelas yang setiap kelasnya disekat oleh papan sebagai pembatas antara kelas yang satu dengan kelas yang lain. Terlihat bangku yang usang di dalam ruangan.
Aku berlari menghampiri seorang perempuan di seberang jalan, ia tak lain adalah satu-satunya guru madrasah diniyah di kampungku ini. Aku pun memberitahukan apa yang baru saja kudengar padanya.
"Ibu mengajar di sekolah madrasah ini bukan untuk mencari uang, tapi untuk memberikan pengetahuan tentang agama untuk anak-anak di kampung ini agar mereka mempunyai akhlakul karimah dan tidak buta agama.
Lagi pula kamu dan teman-temanmu harus mempunyai ijazah madrasah diniyah kan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ibu tidak peduli penilaian orang lain terhadap ibu, ibu hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat," lanjutnya menjelaskan.
Subhanallah, betapa mulia sekali hati guruku ini. Dia menjadi pahlawan bagi anak-anak di kampungku ini tanpa pamrih.