Puisi Kehinaan - Oleh Muhammad Khalid bin Zainul
Selengkapnya puisi tentang kehinaan, disimak saja puisinya di bawah ini, agar mengerti maksud kata kehinaan sebagai judul puisinya berikut ini puisinya.
Kehinaan
Oleh: Muhammad Khalid bin Zainul
Aku jatuh tersungkur
ketika lidah-lidah durjana
menjadi pisau-pisau belati
menikam kalbu tanpa henti
seperti orang kesetanan
yang sudah hilang kewarasan.
Mereka saudara hanya pada nama,
membunuh harga diriku
dengan kata-kata tercela
tanpa peduli apa yang kurasa.
Mereka menari di atas kasihku
yang merembes keluar dari jiwa,
membasahi lantai rohani.
Aku merangkak di dalam hiba,
melihat pengkhianatan terjadi.
Sakit ini tidak terbayang oleh kekata,
menjadi serpihan luka mendalam.
Saatku memohon kekuatan dari-Nya,
kebenaran menampakkan wajahnya.
Dengan cerca yang mereka lontar,
aku mampu memperbaiki diri
dan bangkit sebagai pemenang
sedangkan mereka tidak sedar
kehinaan yang melumuri hati mereka
menelanjangi kebejatan mereka.
Manusiawi mereka telah punah
pada saat mereka mula berkhianat.
Mereka mentertawakanku,
mengejek dan mencerca
sedangkan aku hanya tersenyum,
melihat kedangkalan mereka
menilai diri mereka sendiri
tanpa ada secubit rasa simpati.
Mereka meraikan kejatuhanku
tetapi kehinaan itu bukan milikku.
Telah buta hati mereka
yang berkhianat pada pencinta.
Kehinaan
Oleh: Muhammad Khalid bin Zainul
Aku jatuh tersungkur
ketika lidah-lidah durjana
menjadi pisau-pisau belati
menikam kalbu tanpa henti
seperti orang kesetanan
yang sudah hilang kewarasan.
Mereka saudara hanya pada nama,
membunuh harga diriku
dengan kata-kata tercela
tanpa peduli apa yang kurasa.
Mereka menari di atas kasihku
yang merembes keluar dari jiwa,
membasahi lantai rohani.
Aku merangkak di dalam hiba,
melihat pengkhianatan terjadi.
Sakit ini tidak terbayang oleh kekata,
menjadi serpihan luka mendalam.
Saatku memohon kekuatan dari-Nya,
kebenaran menampakkan wajahnya.
Dengan cerca yang mereka lontar,
aku mampu memperbaiki diri
dan bangkit sebagai pemenang
sedangkan mereka tidak sedar
kehinaan yang melumuri hati mereka
menelanjangi kebejatan mereka.
Manusiawi mereka telah punah
pada saat mereka mula berkhianat.
Mereka mentertawakanku,
mengejek dan mencerca
sedangkan aku hanya tersenyum,
melihat kedangkalan mereka
menilai diri mereka sendiri
tanpa ada secubit rasa simpati.
Mereka meraikan kejatuhanku
tetapi kehinaan itu bukan milikku.
Telah buta hati mereka
yang berkhianat pada pencinta.