Puisi Secercah Cahaya, Oleh Bakta Siwa
PUISI SECERCAH CAHAYA
Oleh: Bakta Siwa
Pernah ada kegamangan. Sangat! Teramat sangat ..., saat kaki-kaki renta harus melangkah. Meninggalkan lusinan mimpi di halaman rumah. Sebab luka telah begitu bernanah; mengundang berjuta belatung mendekam, lalu membangun rumah-rumah.
Di ambang senja kala itu. Kusampirkan duka di pundakku. Tertatih, aku melangkah bertitian tongkat kehampaan. Meninggalkan dua murai kecil yang sibuk menyiangi dada mereka dari daki luka, amarah dan kekecewaan. Sementara pelita di ujung ruang, tampak berkerlip menahan terpaan angin.
Musim. Lalu menyapaku silih berganti. Aku diam, dalam diam yang benar diam. Hingga sekumpulan kenari datang dengan utas-utas cahaya. Mengabarkan sebuah pesta jeda. Ah, aku menemukan serpihan sukmaku di antara helai rumput liar di paruh mereka. Lebih bersinar dari yajna di lorong-lorong kailash.
Kailash, 13 Februari 2018
Oleh: Bakta Siwa
Pernah ada kegamangan. Sangat! Teramat sangat ..., saat kaki-kaki renta harus melangkah. Meninggalkan lusinan mimpi di halaman rumah. Sebab luka telah begitu bernanah; mengundang berjuta belatung mendekam, lalu membangun rumah-rumah.
Di ambang senja kala itu. Kusampirkan duka di pundakku. Tertatih, aku melangkah bertitian tongkat kehampaan. Meninggalkan dua murai kecil yang sibuk menyiangi dada mereka dari daki luka, amarah dan kekecewaan. Sementara pelita di ujung ruang, tampak berkerlip menahan terpaan angin.
Musim. Lalu menyapaku silih berganti. Aku diam, dalam diam yang benar diam. Hingga sekumpulan kenari datang dengan utas-utas cahaya. Mengabarkan sebuah pesta jeda. Ah, aku menemukan serpihan sukmaku di antara helai rumput liar di paruh mereka. Lebih bersinar dari yajna di lorong-lorong kailash.
Kailash, 13 Februari 2018