Puisi Kidung Jelaga - Oleh Satria Panji Elfalah
PUISI KIDUNG JELAGA
Karya: Satria Panji Elfalah
Musim hujan mengetuk di daun pintu
Membawa kenangan, menguliti takdir
Hibahkan petrichor di antara helaan napas
Butakan mata dan telinga dari kenyataan yang memanjakan
Teringat suatu masa
Di kala sehelai Jelaga bersajak pada Rembulan
Di antara dawai ilalang
Di antara desah telaga hitam
Rembulan menjadi dermaga pelunas rindu
Bermanja ria, menggugurkan lara
Menyajikan aroma suka cita
Di kala peraduan enggan menyapa
Seolah tiada duri yang tumbuh di antara bumbungan sajak
Jelaga tersenyum tanpa kenal jemu
Bersajak pada Rembulan setiap jangkrik bernyanyi
Kala anak-anak embun masih dalam rahim langit
Namun, seloka dalam jalinan lembayung sirna
Menuntun Jelaga pada musim kemarau
Lembah hijau sajaknya mengering
Kala sang Rembulan enggan menyapa
Berulang kali Jelaga mengejarnya di cakrawala
Terjatuh berdebum berdarah-darah telapak kakinya
Berulang kali pula Sang Rembulan menutup matanya
Dibutakan gemawan hitam yang memeluk mesra
Derai air mata tanpa henti menjerang bumi
Mengikat bahagia untuk hilang bersamanya
Satu persatu sajaknya meregang nyawa
Perlahan mati di atas pangkuan
Jelaga layu
Di antara daun yang berguguran
Ia menggali pusara untuk sajaknya
Yang seharusnya ia persembahkan untuk meminang Sang Rembulan
Tanpa disangka
Belati merobek nadi
Jelaga pun mengakhiri hidupnya
Untuk dimakamkan bersama sajak-sajaknya
Di dalam pusara
Jelaga bersajak untuk yang terakhir kalinya
Perpisahan di dermaga ajal pada Sang Rembulan
Bersiap angkat sauh menuju hitam
"Bila ada yang menjemputmu di sisa lembayung senja
Seharusnya itu adalah aku
Bila ada ada yang memelukmu kala badai menerjang
Seharusnya itu aku
Namun, kau tiada sudi menyentuh sajakku
Melihatnya pun seolah jijik
Jikalau suakaku ada dalam genggaman kematian
Biarlah aku mati
Menjadi lebih hitam dari hitam"
Jelaga mati
Sajak-sajaknya mati
Pusara tertutup
Mengantarnya menuju hitam
Serang, 21 Oktober 2017.
Karya: Satria Panji Elfalah
Musim hujan mengetuk di daun pintu
Membawa kenangan, menguliti takdir
Hibahkan petrichor di antara helaan napas
Butakan mata dan telinga dari kenyataan yang memanjakan
Teringat suatu masa
Di kala sehelai Jelaga bersajak pada Rembulan
Di antara dawai ilalang
Di antara desah telaga hitam
Rembulan menjadi dermaga pelunas rindu
Bermanja ria, menggugurkan lara
Menyajikan aroma suka cita
Di kala peraduan enggan menyapa
Seolah tiada duri yang tumbuh di antara bumbungan sajak
Jelaga tersenyum tanpa kenal jemu
Bersajak pada Rembulan setiap jangkrik bernyanyi
Kala anak-anak embun masih dalam rahim langit
Namun, seloka dalam jalinan lembayung sirna
Menuntun Jelaga pada musim kemarau
Lembah hijau sajaknya mengering
Kala sang Rembulan enggan menyapa
Berulang kali Jelaga mengejarnya di cakrawala
Terjatuh berdebum berdarah-darah telapak kakinya
Berulang kali pula Sang Rembulan menutup matanya
Dibutakan gemawan hitam yang memeluk mesra
Derai air mata tanpa henti menjerang bumi
Mengikat bahagia untuk hilang bersamanya
Satu persatu sajaknya meregang nyawa
Perlahan mati di atas pangkuan
Jelaga layu
Di antara daun yang berguguran
Ia menggali pusara untuk sajaknya
Yang seharusnya ia persembahkan untuk meminang Sang Rembulan
Tanpa disangka
Belati merobek nadi
Jelaga pun mengakhiri hidupnya
Untuk dimakamkan bersama sajak-sajaknya
Di dalam pusara
Jelaga bersajak untuk yang terakhir kalinya
Perpisahan di dermaga ajal pada Sang Rembulan
Bersiap angkat sauh menuju hitam
"Bila ada yang menjemputmu di sisa lembayung senja
Seharusnya itu adalah aku
Bila ada ada yang memelukmu kala badai menerjang
Seharusnya itu aku
Namun, kau tiada sudi menyentuh sajakku
Melihatnya pun seolah jijik
Jikalau suakaku ada dalam genggaman kematian
Biarlah aku mati
Menjadi lebih hitam dari hitam"
Jelaga mati
Sajak-sajaknya mati
Pusara tertutup
Mengantarnya menuju hitam
Serang, 21 Oktober 2017.