Puisi Hati, Menghujani Lebat Hati - Oleh Syed Ali Segaff
PUISI MENGHUJANI LEBAT HATI
Oleh: Syed Ali Segaff
Puisi adalah makna-memaknai, mengaitkan dunia nyata dan mimpi. Dunia imaji antara seberang sana dan tepian sini. Selain kegembiraan, tak sedikit kita temui kegalauan dan kekecewaan, baru kemudian optimisme dan harapan. Begitulah karya sastra seperti puisi selalu bersifat spiritual, juga personal sekaligus sosial.
Meskipun puisi tidak pernah melukai mereka yg baik hati dan budi, saya kadang berat hati untuk menulis lebih banyak lagi, apalagi bermaksud membuatkan baginya kunpulan buku abadi. Sebab saya tidak ingin menggiring pembaca terjatuh kedalam kondisi ekstasi dan intensi. Bagi saya ini hanya bahasa qalbu yg ingin mengajak serta melihat keindahan bersama.
Jika puisi adalah cermin hati, datang dari hati pasti hati pulalah yg akan menerimanya. Terlalu banyak membacanya orang tidak akan berdaya dan lalu jatuh hati. Siapakah yg bisa menahan getaran sanubari? Bagaimanakah tidak akan kau telan kelezatan ini?
Rasanya ingin juga saya menggubah puisi dengan lidah terjulur berbuah api, berdaun belati. Tetapi apa kata Tuan nanti?
Ah aku bingung ni; jika tidak membuat puisi aku mati, dan jika membuatnya aku harus ingat kewajibanku melayani semua hati. Jika tidak ada yg aku gubah hatiku gundah, pikiranku gelisah.
Sungguh aku menyukai riasan riasan ujaran bila itu menyegarkan citra sukmamu, kawan. Aku hanya ingin menghapus termin genting dan meniadakan pekik dipenghujung kemelut jiwamu.
Tentu saja untuk kita bukan bunga tidur yg kudambakan atau sebagai tujuan, melainkan kesadaran. Yg saya inginkan adalah kehidupan kita semua bisa disandingkan dengan keindahan.
Saya sendiri sesungguhnya tak lebih dari si kerdil pengamat langit, yg mabuk akan kesetiaannya pada bumi. Ya, si pandir yg letih lalu terjaga bahwa kita semua manusia dicipta dari satu Cinta yg sama.
(Kalau boleh bertanya, apa yang harus saya jawab saat ada yang bertanya :"Mimpi apa yang kau inginkan, pandir?").
Oleh: Syed Ali Segaff
Puisi adalah makna-memaknai, mengaitkan dunia nyata dan mimpi. Dunia imaji antara seberang sana dan tepian sini. Selain kegembiraan, tak sedikit kita temui kegalauan dan kekecewaan, baru kemudian optimisme dan harapan. Begitulah karya sastra seperti puisi selalu bersifat spiritual, juga personal sekaligus sosial.
Meskipun puisi tidak pernah melukai mereka yg baik hati dan budi, saya kadang berat hati untuk menulis lebih banyak lagi, apalagi bermaksud membuatkan baginya kunpulan buku abadi. Sebab saya tidak ingin menggiring pembaca terjatuh kedalam kondisi ekstasi dan intensi. Bagi saya ini hanya bahasa qalbu yg ingin mengajak serta melihat keindahan bersama.
Jika puisi adalah cermin hati, datang dari hati pasti hati pulalah yg akan menerimanya. Terlalu banyak membacanya orang tidak akan berdaya dan lalu jatuh hati. Siapakah yg bisa menahan getaran sanubari? Bagaimanakah tidak akan kau telan kelezatan ini?
Rasanya ingin juga saya menggubah puisi dengan lidah terjulur berbuah api, berdaun belati. Tetapi apa kata Tuan nanti?
Ah aku bingung ni; jika tidak membuat puisi aku mati, dan jika membuatnya aku harus ingat kewajibanku melayani semua hati. Jika tidak ada yg aku gubah hatiku gundah, pikiranku gelisah.
Sungguh aku menyukai riasan riasan ujaran bila itu menyegarkan citra sukmamu, kawan. Aku hanya ingin menghapus termin genting dan meniadakan pekik dipenghujung kemelut jiwamu.
Tentu saja untuk kita bukan bunga tidur yg kudambakan atau sebagai tujuan, melainkan kesadaran. Yg saya inginkan adalah kehidupan kita semua bisa disandingkan dengan keindahan.
Saya sendiri sesungguhnya tak lebih dari si kerdil pengamat langit, yg mabuk akan kesetiaannya pada bumi. Ya, si pandir yg letih lalu terjaga bahwa kita semua manusia dicipta dari satu Cinta yg sama.
(Kalau boleh bertanya, apa yang harus saya jawab saat ada yang bertanya :"Mimpi apa yang kau inginkan, pandir?").