Puisi Balada Pengembara
PUISI BALADA PENGEMBARA
Karya: Satria Panji Elfalah
Lama sebelum warna berdarah
Aku mampu melihat lukisan bernyawa
Gemulai bagai bidadari yang menyaru dalam gelap
Menjelma namun tak terjamah
Jika temaram lilin menyinari jalan kelam ini
Bagai mercusuar yang mengintip dari kabut
Akan kutemukan sungai di antara rinai hujan
Dan kujamah tepian air
Bilas cahayamu padaku
Jadilah mataku ketika netraku padam
Siram cahayamu padaku
Jadilah penuntunku agar aku bisa melihat tawa dunia
Bagai ngengat yang digiring menuju api
Saat ini aku masih sendirian
Tak ada satu jiwa pun yang mampu kusalahkan
Terbakar dalam kesendirian
Dengan setiap mutiara yang mampu kutemukan
Kubiarkan arus membawaku menuju antah berantah
Namun perlahan, diri ini akan bangkit
Menantang langit biru meski harus sendiri
Tapi bagaimana jika masa menjerujiku?
Aku hilang arah dan buta suaka sekitar
Bagaimana jika selama ini aku salah?
Di setiap persimpangan, di tiap jalan
Akankah kau tetap menjamuku?
Atau membiarkanku terjatuh
Lebih baik mencoba dan jatuh
Daripada tidak sama sekali
Kau melihat tapi tak bisa melihat
Berbicara namun tak pernah berbicara
Kau hidup tapi tak bernapas
Menyaksikan namun tak percaya
Luka yang takkan sembuh
Hati yang tak bisa merasa
Mimpi yang terlalu nyata
Pandangan sedingin besi
Aku telah mendengarkan cerita tentang kebencian dan penghinaan
Aku sudah melihat ke dalam mata kosong penuh akan kemarahan, ketakutan, dan rasa malu
Kuambil darah dari setiap batu
Dan melakukan perjalanan di setiap jalan
Saat aku melihat lampu yang jauh menerangi malam
Lalu aku akan tahu aku di rumah
Bandung, 22 Januari 2018.
BALADA PENGEMBARA (2) Karya: Satria Panji Elfalah
Di atas lutut yang tertekuk
Takkan ada jalan menuju kebebasan
Mengangkat cawan kosong
Aku bertanya dalam diam
Akankah semua tujuan menerimaku?
Agar aku bisa bernapas
Lingkaran membesar
Menelan orang-orang sepenuhnya
Setengah nyawa mereka berujar selamat malam
Pada istri yang tak pernah mereka kenal
Pikiran dikuasai pertanyaan demi pertanyaan
Dan seorang guru dalam jiwa
Begitulah semua berlalu
Jangan mendekat atau aku akan pergi
Mencengkramku bagai gravitasi
Jika ada secawan alasan untukku
Yang akan menjadi alasanku untuk tetap tinggal
Mungkin itu bisa dirimu
Orang-orang yang menjumpai batang hidungku
Bersemadi dalam sangkar yang mereka beli
Mereka memikirkanku dan jalanku
Tapi aku bukanlah seperti yang mereka hakimi
Kudapati kemarahan membuncah
Dalam pikiran, dalam jiwa
Tapi kusucikan semuanya dalam otak
Aku hidup
Angin di rambutku
Merasakan bagian-bagian kehidupan
Di bawah tapak kakiku adalah jalan yang hilang
Tengah malam kudengar pepohonan
Mereka bernyanyi bersama jasad-jasad jelaga
Di atas kepala
Tinggalkan aku kala kutemukan jalanku
Anggap aku adalah satelit yang selamanya mengorbit
Aku tahu aturan tapi aturan tak mengenalku
Aku jamin itu
Bandung, 8 Februari 2018.