Antara Hitam dan Putih - Oleh Andika
Antara Hitam dan Putih
Oleh: Andika
Hujan masih saja mengguyur tanah di mana engkau kulihat masih tegak berpijak. Hingga tak henti suara dari bening yang berjatuhan, deras mengalunkan tembang-tembang di keruh genangan. Kulihat kau setenang wajah telaga. Meski sesungguhnya dari tiap gejolak musim, perlahan waktu bagai lumut-lumut tumbuh merayap di batang usia. Tak ada inginmu untuk sedikit bergeming. Teramat kuat kulihat keyakinan diri telah mengikat, melingkar erat pada bidang dada dan kepala.
Kau lalu tersenyum padaku. Tatap mata di balik keriput kelopak nan layu, isyaratkan agar kuturut menelaah keadaan yang selalu Tuhan perlihatkan. Bening mata air tanpa debu berkali jatuh, riak nyaring percikan anak-anak sungai riang berlarian, belumlah tentu di akhir alir sejernih awal kehadiran. Hitam tak jarang menghadang di dasar penampungan. Renta lenganmu tak segan menggenggam. Mengajakku berjalan di antara tepian garis-garis hujan senja itu.
"Kaulihat langit itu? Sebagian awan selembut kapas sesaat saja hitam menguasai angkasa dalam sekali kibas. Jingga tak kalah indah, pun sedetik lalu gelap menelan jua. Apakah kaupikir langit goyah lalu esok malam bulan dan gugusan bintang akan patah?"
Samar bagai menggumam, namun kalimatmu kurasakan sangatlah tajam. Tak ingin aku berlalu dari sisimu. Berdua kita berdiri, mencoba mencari tahu fakta apa nan terucap dari bibir-bibir senja untuk kita. Kucoba setarakan bahumu dan bahuku. Kucoba berupaya agar dadaku setegap dadamu.
Ah, Ayah! Sungguh padaku tiada yang menyerupai perkasamu. Tak semua yang hitam tak bisa menjadi putih. Hitam rambutmu kian beruban, semoga simbol pergantian warna serupa terkikisnya pekat menghalang keberanianku berjuang. Itu sebagian yang selalu engkau umpamakan.
Malay; 21022018
Oleh: Andika
Hujan masih saja mengguyur tanah di mana engkau kulihat masih tegak berpijak. Hingga tak henti suara dari bening yang berjatuhan, deras mengalunkan tembang-tembang di keruh genangan. Kulihat kau setenang wajah telaga. Meski sesungguhnya dari tiap gejolak musim, perlahan waktu bagai lumut-lumut tumbuh merayap di batang usia. Tak ada inginmu untuk sedikit bergeming. Teramat kuat kulihat keyakinan diri telah mengikat, melingkar erat pada bidang dada dan kepala.
Kau lalu tersenyum padaku. Tatap mata di balik keriput kelopak nan layu, isyaratkan agar kuturut menelaah keadaan yang selalu Tuhan perlihatkan. Bening mata air tanpa debu berkali jatuh, riak nyaring percikan anak-anak sungai riang berlarian, belumlah tentu di akhir alir sejernih awal kehadiran. Hitam tak jarang menghadang di dasar penampungan. Renta lenganmu tak segan menggenggam. Mengajakku berjalan di antara tepian garis-garis hujan senja itu.
"Kaulihat langit itu? Sebagian awan selembut kapas sesaat saja hitam menguasai angkasa dalam sekali kibas. Jingga tak kalah indah, pun sedetik lalu gelap menelan jua. Apakah kaupikir langit goyah lalu esok malam bulan dan gugusan bintang akan patah?"
Samar bagai menggumam, namun kalimatmu kurasakan sangatlah tajam. Tak ingin aku berlalu dari sisimu. Berdua kita berdiri, mencoba mencari tahu fakta apa nan terucap dari bibir-bibir senja untuk kita. Kucoba setarakan bahumu dan bahuku. Kucoba berupaya agar dadaku setegap dadamu.
Ah, Ayah! Sungguh padaku tiada yang menyerupai perkasamu. Tak semua yang hitam tak bisa menjadi putih. Hitam rambutmu kian beruban, semoga simbol pergantian warna serupa terkikisnya pekat menghalang keberanianku berjuang. Itu sebagian yang selalu engkau umpamakan.
Malay; 21022018